Sekolah
kecil ini tampak sepi. Tak ada orang yang berlalu-lalang seperti
biasanya. Berteman hujan yang turun dengan lebatnya, sekolah ini
tampak begitu menyeramkan untuk didatangi seorang diri oleh seorang
gadis seperti ku. Dari kejauhan sudah kuamati sekolah itu, berharap
ada orang disana dan mengurangi rasa takutku. Entah kemana 116 siswa
lainnya, mungkin sibuk dengan kegiatan mereka yang kadang akupun tak
mengerti.
Kulangkahkan
kaki kecilku dengan lesu menuju sekolah itu. Mata sayuku tertuju pada
sebuah benda berbentuk persegi yang ukurannya cukup besar. Sambil
memeluk tumpukan buku dan kertas-kertas ditanganku, kupaksa kakiku
untuk melewati hujan yang membuatku hampir menggigil. Rok abuku yang
agak sedikit panjang tampaknya sudah basah terpercik air hujan. Ah,
lagi-lagi hujan menemani setiap langkahku, setidaknya hujan membuat
tugas menyebalkan ini menjadi sedikit lebih indah meski kulalui
dengan lesu.
Kini
aku berdiri didepan benda persegi ini itu. Benda yang berlatar karpet
merah kosong itu sebentar lagi akan dipenuhi oleh lembaran-lembaran
kertas yag berisi apapun. Kuhembuskan nafas perlahan, merasakan
damainya hujan, aku siap melakukan tugas ini
Entah
mimpi apa aku kemarin malam, sepertinya sial begitu berpihak padaku
hari itu. Aku cukup lelah dan mengantuk untuk mendengarkan guru
cantikku ini menjelaskan pelajarannya. Entah membahas tentang apapun
aku tak tahu. Ini mungkin untuk kesekian kalinya, namun ini
pertamakalinya ketidakberuntungan itu menghampiriku.
Mataku
begitu berat untuk menahan kantuk yang sudah sangat menyerang ini.
Aku tak mungkin tidur disaat itu juga, namun penyakit ngantuk ini
nyatanya hanya dapat diobati dengan tidur. Beribu cara kulakukan
untuk menghindarkan kantuk dariku. Aku takut guru cantik ini akan
begitu marah melihat seorang siswi tak seberapa sepertiku yang duduk
didepanpun tetap mengantuk saat dia mengajar.
Setelah
sekian lama memikirkan cara untuk tidak mengantuk, aku menemukan satu
ide yang mungkin cukup cemerlang. Yah, menulis. Saat itu begitu
malasnya aku untuk mengambil kertas untuk menjadi media tulisku
sehingga tissue yang ada dikantonglah yang akhirnya menjadi korban.
Kutuliskan beberapa kata dan nama dalam tissue itu. Cara ini cukup
mujarab sepertinya. Kantukku pergi dengan sendirinya, lalu siallah
yang datang menghampiri.
“Asry!”
seru guruku. Aku yang sedari tadi begitu konsentrasi untuk menulis
tissue itupun sontak sangat kaget. Mataku terbelalak namun senyum
takut ada dibibirku saat itu. Pikiranku terlalu bodoh untuk berpikir
bahwa tak seharusnya aku tersenyum lebar seperti orang dodol sepeeti
itu. Sesungguhnya, akupun malu mengakui bahwa pada saat itu
ekspresiku pasti sangat buruk.
Suara
sepatu mahal itu datang menghampiriku. Tak..tak..takk.. irama suara
sepatu itu tak seiring dengan debar jantungku yang sepertinya sudah
memiliki kecepatan 900 kali per sekon. Mataku terbelalak, tanganku
memegang tissue yang tadinya menjadi korban kantukku aku kalut, takut
dan mungkin saat itu aku menciut seperti siput.
“Berikan
kertas itu!” kata-kata wanita berkacamata ini membuat tanganku
basah berkeringat takut. Matanya yang tajam menatapku lebih tajam
lagi dan menciutkan semua adrenalinku untuk melakukan apaun. Tapi
sepertinya pada saat itu sebagian kecil dari otakku masih dapat
bekerja. Aku tahu bahwa aku tidak mungkin menyerahkan tissue yang
berisi tulisan itu kepadanya. Ada banyak tulisan bodoh yang agak
sedikit rahasia disana.
Tanpa
ku aba-abakan, otakku menyuruh tanganku untuk meremuk dan mengoyak
tissue tersebut. Dengan bodohnya tanganku merusak tissu tersebut dan
mencabik-cabiknya menjadi bagian rapuh yang sangat buruk. Melihat hal
tersebut, tentu saja wanita itu sangat tidak senang dan mungkinn
emosi melihat tingkah bodohku. Sepertinya cara pertahanan diriku
memang sangat buruk.
“Kenapa
kamu rusak tissue itu hah?” ucapnya menggelegar. Namun seberapapun
dia marah, tetap saja dia tak akan lagi tahu apa isi tulisan di
tissue itu, mungkin itu pula yang membuat otak pintarnya berpikir
dengan cepat sehingga mengatakan “Kalau begitu kau akan dihukum
mengisi mading selama tiga minggu” Jleb! What ? Tiga minggu
berkutat dengan mading? Tidak! Sesaat itu juga jiwa pemberontakku
muncul kepermukaan.
“Tapi
buk, Tiga minggu itu terlalu lama” Kataku mengeluh.
“Kenapa?
Masih kurang? Kalau begitu, dua kali dalam seminggu selama tiga
minggu. Mengerti?”
Ini
lebih dari kejam. Bagaimana mungkin mengumpulkan karya dan
memajangnya di mading dalam dua kali seminggu? Yang benar saja ini
akan membuatku gila.
Aku
tahu aku tidak dapat melakukan apapun lagi pada saat itu. Kalau saja
aku mengeluh lagi, taruhan saja guru cantik itu pasti akan
memberikanku tugas yang lebih berat lagi. Hanya satu cara, terima dan
pasrah.
Teng..teng..teng...
akhirnya terdengar bunyi lonceng tanda jam pelajaran Bahasa Indonesia
berakhir. Setidaknya aku bisa sedikit lega walau ternyata konsekuensi
berat itu sudah kuterima.
Guru
itu melangkah keluar kelas, masih kuhampiri dia emohon ampun. Namun
pada saat itu kulihat senyumnya yang cetar membahana dan meyakinkanku
bahwa aku bisa dan berkata, “Kalau tidak disuruh menulis, maka kau
tidak akan menulis” Kata-katanya tak lagi dapat kubantah. Aku
memang tidak akan menulis kalau tidak ditugaskan, bahkan untuk
menulis tugaspun aku ogah-ogahan.
Semenjak
hari itu, banyak cerita tentang mading yang terjadi. Ada waktu ketiga
seisi kelas mengolokku sigadis mading. Tiba-tiba salah seorang
temanku mengucapkan kata mading dengan begitu kerasnya saat guru yang
sama masuk dikelas. Yang terjadi adalah, temanku tersebut juga diberi
tugas keramat sama sepertiku. Hanya saja dia mendapat tugas yang
lebih ringan karena hanya satu mingguj saja.
Jadilah
sebutan “sesuatu yang tidak boleh disebut” itu. Ada banyak korban
dari sesuatu itu. Bahkan untuk menuliskannya sekarangpun, ada rasa
trauma yang tertinggal. Dalam hati ada janji, tak lagi akan ku
ulangi kesalahan tersebut, karna tlah kurasakan konsekuensi dari
semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar