5.18.2013

Apa yang Tak Bisa Disebutkan

Sekolah kecil ini tampak sepi. Tak ada orang yang berlalu-lalang seperti biasanya. Berteman hujan yang turun dengan lebatnya, sekolah ini tampak begitu menyeramkan untuk didatangi seorang diri oleh seorang gadis seperti ku. Dari kejauhan sudah kuamati sekolah itu, berharap ada orang disana dan mengurangi rasa takutku. Entah kemana 116 siswa lainnya, mungkin sibuk dengan kegiatan mereka yang kadang akupun tak mengerti.
Kulangkahkan kaki kecilku dengan lesu menuju sekolah itu. Mata sayuku tertuju pada sebuah benda berbentuk persegi yang ukurannya cukup besar. Sambil memeluk tumpukan buku dan kertas-kertas ditanganku, kupaksa kakiku untuk melewati hujan yang membuatku hampir menggigil. Rok abuku yang agak sedikit panjang tampaknya sudah basah terpercik air hujan. Ah, lagi-lagi hujan menemani setiap langkahku, setidaknya hujan membuat tugas menyebalkan ini menjadi sedikit lebih indah meski kulalui dengan lesu.
Kini aku berdiri didepan benda persegi ini itu. Benda yang berlatar karpet merah kosong itu sebentar lagi akan dipenuhi oleh lembaran-lembaran kertas yag berisi apapun. Kuhembuskan nafas perlahan, merasakan damainya hujan, aku siap melakukan tugas ini
 
Entah mimpi apa aku kemarin malam, sepertinya sial begitu berpihak padaku hari itu. Aku cukup lelah dan mengantuk untuk mendengarkan guru cantikku ini menjelaskan pelajarannya. Entah membahas tentang apapun aku tak tahu. Ini mungkin untuk kesekian kalinya, namun ini pertamakalinya ketidakberuntungan itu menghampiriku.
Mataku begitu berat untuk menahan kantuk yang sudah sangat menyerang ini. Aku tak mungkin tidur disaat itu juga, namun penyakit ngantuk ini nyatanya hanya dapat diobati dengan tidur. Beribu cara kulakukan untuk menghindarkan kantuk dariku. Aku takut guru cantik ini akan begitu marah melihat seorang siswi tak seberapa sepertiku yang duduk didepanpun tetap mengantuk saat dia mengajar.
Setelah sekian lama memikirkan cara untuk tidak mengantuk, aku menemukan satu ide yang mungkin cukup cemerlang. Yah, menulis. Saat itu begitu malasnya aku untuk mengambil kertas untuk menjadi media tulisku sehingga tissue yang ada dikantonglah yang akhirnya menjadi korban. Kutuliskan beberapa kata dan nama dalam tissue itu. Cara ini cukup mujarab sepertinya. Kantukku pergi dengan sendirinya, lalu siallah yang datang menghampiri.
“Asry!” seru guruku. Aku yang sedari tadi begitu konsentrasi untuk menulis tissue itupun sontak sangat kaget. Mataku terbelalak namun senyum takut ada dibibirku saat itu. Pikiranku terlalu bodoh untuk berpikir bahwa tak seharusnya aku tersenyum lebar seperti orang dodol sepeeti itu. Sesungguhnya, akupun malu mengakui bahwa pada saat itu ekspresiku pasti sangat buruk.
Suara sepatu mahal itu datang menghampiriku. Tak..tak..takk.. irama suara sepatu itu tak seiring dengan debar jantungku yang sepertinya sudah memiliki kecepatan 900 kali per sekon. Mataku terbelalak, tanganku memegang tissue yang tadinya menjadi korban kantukku aku kalut, takut dan mungkin saat itu aku menciut seperti siput.
“Berikan kertas itu!” kata-kata wanita berkacamata ini membuat tanganku basah berkeringat takut. Matanya yang tajam menatapku lebih tajam lagi dan menciutkan semua adrenalinku untuk melakukan apaun. Tapi sepertinya pada saat itu sebagian kecil dari otakku masih dapat bekerja. Aku tahu bahwa aku tidak mungkin menyerahkan tissue yang berisi tulisan itu kepadanya. Ada banyak tulisan bodoh yang agak sedikit rahasia disana.
Tanpa ku aba-abakan, otakku menyuruh tanganku untuk meremuk dan mengoyak tissue tersebut. Dengan bodohnya tanganku merusak tissu tersebut dan mencabik-cabiknya menjadi bagian rapuh yang sangat buruk. Melihat hal tersebut, tentu saja wanita itu sangat tidak senang dan mungkinn emosi melihat tingkah bodohku. Sepertinya cara pertahanan diriku memang sangat buruk.
“Kenapa kamu rusak tissue itu hah?” ucapnya menggelegar. Namun seberapapun dia marah, tetap saja dia tak akan lagi tahu apa isi tulisan di tissue itu, mungkin itu pula yang membuat otak pintarnya berpikir dengan cepat sehingga mengatakan “Kalau begitu kau akan dihukum mengisi mading selama tiga minggu” Jleb! What ? Tiga minggu berkutat dengan mading? Tidak! Sesaat itu juga jiwa pemberontakku muncul kepermukaan.
“Tapi buk, Tiga minggu itu terlalu lama” Kataku mengeluh.
“Kenapa? Masih kurang? Kalau begitu, dua kali dalam seminggu selama tiga minggu. Mengerti?”
Ini lebih dari kejam. Bagaimana mungkin mengumpulkan karya dan memajangnya di mading dalam dua kali seminggu? Yang benar saja ini akan membuatku gila.
Aku tahu aku tidak dapat melakukan apapun lagi pada saat itu. Kalau saja aku mengeluh lagi, taruhan saja guru cantik itu pasti akan memberikanku tugas yang lebih berat lagi. Hanya satu cara, terima dan pasrah.
Teng..teng..teng... akhirnya terdengar bunyi lonceng tanda jam pelajaran Bahasa Indonesia berakhir. Setidaknya aku bisa sedikit lega walau ternyata konsekuensi berat itu sudah kuterima.
Guru itu melangkah keluar kelas, masih kuhampiri dia emohon ampun. Namun pada saat itu kulihat senyumnya yang cetar membahana dan meyakinkanku bahwa aku bisa dan berkata, “Kalau tidak disuruh menulis, maka kau tidak akan menulis” Kata-katanya tak lagi dapat kubantah. Aku memang tidak akan menulis kalau tidak ditugaskan, bahkan untuk menulis tugaspun aku ogah-ogahan.
Semenjak hari itu, banyak cerita tentang mading yang terjadi. Ada waktu ketiga seisi kelas mengolokku sigadis mading. Tiba-tiba salah seorang temanku mengucapkan kata mading dengan begitu kerasnya saat guru yang sama masuk dikelas. Yang terjadi adalah, temanku tersebut juga diberi tugas keramat sama sepertiku. Hanya saja dia mendapat tugas yang lebih ringan karena hanya satu mingguj saja.
Jadilah sebutan “sesuatu yang tidak boleh disebut” itu. Ada banyak korban dari sesuatu itu. Bahkan untuk menuliskannya sekarangpun, ada rasa trauma yang tertinggal. Dalam hati ada janji, tak lagi akan ku ulangi kesalahan tersebut, karna tlah kurasakan konsekuensi dari semuanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar